Sabtu, 11 Maret 2017

Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi

ISLAMISASI

ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI


Muqodimah
Masyarakat Islam di seluruh dunia sedang berada dalam arus perubahan yang sangat dahsyat seiring datangnya era globalisasi dan informasi. Sebagai masyarakat mayoritas dalam dunia ketiga, sungguhpun telah berusaha menghindari pengaruh westernisasi, tetapi dalam kenyataannya modernisasiyang diwujudkan melalui pembangunan berbagai sector termasuk pendidikan, intervensi dan westernisasi tersebut sulit dielakkan.[1]
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis, sekularistik, relevistis; yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab penting munculnya krisis masyarakat modern.[2]
Geliat Islamisasi ilmu pengetahuan sudah mulai dikembangkan. Islamisasi sebagai sebuah konsep memerlukan penjelasan-penjelasan yang komprehensif. Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan yang mudah seperti labelisasi. Namun yang perlu diingat dalam mengislamkan ilmu adalah harus mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam (the Islamicworldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.
Di sini kami hendak ‘menguak’ keburukan westernisasi ilmu dengan menguraikan latar belakang sejarahnya dan dampak yang ditimbulkannya, sehingga Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer merupakan solusi yang tepat ditawarkan untuk mengobatinya.

PEMBAHASAN
A.           Latar Belakang dan Gagasan Islamisasi Sains dan Teknologi
Seiring dengan perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Bagi kalangan ilmuwan Barat, agama adalah penghalang kemajuan karena beranggapan jika ingin maju agama tidak boleh lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan  dengan dunia seperti politik dan sains.
Ditambah dengan pemikiran pemikiran Liberal dan Sekular yang tumbuh berkembang disana dengan pesat, yang menjadikan diskursus keilmuan dan teknologi terlepas dari agama. Agama adalah agama , ilmu adalah ilmu. Sains dianggap tidak lagi berhubungan dengan agama, seakan akan berdiri sendiri tanpa tiang agama. Hal ini menjadikan fenomena alam yang seharusnya menjadi wadah tadabbur bagi manusia untuk melihat bagaimana agungnya kekuasaan Allah menjadi terlewat begitu saja. Sains dikaji hanya sebatas pengetahuan semata, tanpa memperhatukan aqidah dan ketauhidan Tuhan. sains dan teknologi dikembangkan hanya untuk memenuhi syahwat manusia yang tiada batasnya, bukan sebagai perantara mata hati dalam meningkatkan keimanan.
Sains seakan akan ditelanjangi, dengan menanggalkan agama sebagai covernya. Sains modern yang begitu diangung agungkan oleh kaum sekuler layaknya   menjadi tombak untuk melepaskan diskursus keagamaan dari seluruh aspek kehidupan manusia.
Syed Muhammad Naquib al- Attas dalam tulisan monumental berjudul  De westernization of Knowledge (1978) melihat masalah terbesar umat Islam saai ini adalah masalah ilmu: dan banyak masalah lainnya timbul akibat dari masalah ini. Kebanyakan umat Islam yang belajar atau mengajar tidak sadar bahwa ilmu ilmu modern yang sekarang ini diajarkan di sekolah sekolah dan institusi pengajian tinggi di Negara Negara Islam berasal dari Barat dan menayangkan visi intelektual dan psikologi budaya serta peradaban Barat.[3]
Berawal dari konferensi dunia tentang Pendidikan Muslim di Mekah tahun 1977, yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University, yang banyak membahas atas gagasan Islamisasi Pengetahuan, bahwa Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap ilmu pengetahuan produk non-muslim yang selama ini dikembangan dan dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak Islam.[4]
Syed Muhammad Naquib al- Attas mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan.  Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan terhadapnya.Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman.  Sehingga dengan demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan fitrah. Dengan kata lain, islamisasi ilmu pengetahuan dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler.
Sementara menurut Ismail al Faruqi,“upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data, problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini maka setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah.  Ia harus didefinisikan dengan cara baru, data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.
B.     Integrasi Sains, Teknologi dan Agama
Ilmu dan Agama tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya berasal dari satu akar, yaitu Tuhan. Sedangkan teknologi adalah aplikasi dari ilmu itu sendiri.Ilmu pengetahuan atau sains berada dalam tataran teoritis sedangkan teknologi berada dalam tataran praktis aplikatif. Dan agama berperan sebagai cover keduanya dengan tauhidullah sebagai kesimpulannya.
            Yang seharusnya dilakukan dalam menerapkan Sains dan teknologi dalam Islam adalah: pertama menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Dan kedua, menjadikan Syari’ah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
            Maksudnya, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah Islam, sebagai contoh: statement Darwin tentang teori Evolusi yag menafikan penciptaan manusia pertama yakni Adam oleh Allah SWT harus ditolak, karena bertentangan dengan aqidah dan syari’ah yang akan menjadi landasan dalam penerapan teknologi, jangan sampai cloning yang berhasil diterapkan untuk hewan kemudian diterapkan juga untuk manusia, karena hal itu jelas dilarang oleh syari’ah.
            Dalam pengamatan kita selama ini, Negara-negara Barat sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah terus maju dan berkembang. Sedangkan umat Islam dikatakan mengalami kemunduran. Hal itu disebabkan karena umat Islam mulaimeninggalkan bimbingan kitab suci mereka. Ayat yang pertama turun adalah perintah membaca(iqra’). Membaca adalah pintu gerbang utama untuk menguasai IPTEK. Hanya saja umat Islam tidak menjalankan perintah ayat yang pertama turun kepada nabi Muhammad SAW itu. Justru umat lainlah yang mengamalkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Sebenarnya amatlah sangat banyak ayat yang menyuruh kita untuk berfikir, bertadabbur dan juga mengecam taqlid. Tapi pada kenyataannya, kita lebih suka taqlid kepada hal-hal yang telah terlebih dahulu diciptakan atau dimunculkan oleh orang-orang pendahulu, tanpa adanya usaha untuk berfikir hendak membuat sesuatu yang baru yang lebih baik atau mengacu pada hal yang telah ada tersebut. Dan hal itulah yang menujukkan bahwasanya masih banyak dari masyarakat Muslim yang malas menggunakan akal fikirannya untuk mengubah keadaan tersebut.Padahal, sebenarnya Al-Qur’an sangat apresiasif terhadap IPTEK. Terbukti kata-kata ilmu dalam segala macam bentuknya disebut di dalam Al-Qur’an lebih dari 780 kali.

            Klasifikasi ilmu dalam perspektif hokum Islam dapat dikategorikan dalam beberapa bagian, ada ilmu yang fardhu ‘ain(wajib bagi setiap Muslim untuk mempelajarinya), yaitu berkaitan dengan bagaiman mempunyai aqidah yang benar, ibadah yang benar akhalak yang luhur dan hokum-hukum dalam bermu’amalah yang akan menjaga keselamatan hidupnya. Kemudian ada juga yang mandub (dianjurkan), yaitu hal-hal yang akan menambah dari kebutuhan-kebutuhan utamanya dalam kehidupan ini. Ada juga yang fardhu kifayah, seperti menekuni disiplin ilmu-ilmu tertentu, menjadi ahli Tafsir, ahli hadits, ahli fiqh dan lain-lain, termasuk penguasaan sains dan teknologi adalh fardhu kifayah.
Apabila umat Islam tidak ada yang menekuni bidang-bidang ilmu tersebut maka kita tidak akan pernah menjadi suatu Negara yang maju, berkembang dan hanya selalu mengandalkan kekreatifan dan kepandaian Negara lain yang telah maju dan berkembang. Maka dari itu, masing-masing dari kita harus selalu menanamkan semangat untuk memajukan ilmu pengetahuan Islam sehingga kita tidak lagi menggantungkan diri kepada Negara lain terutama dalam bidang teknik, pembuatan senjata, transportasi dan yang lain sebagainya. Sedangkan di lai pihak pun ada pula yang haram untuk  dipelajari, yaitu ilmu yan hanya mendatangkan mudharat dan tidak memberikan manfaat, seperti ilmu sihir dan lain sebagainya.
            Menekun IPTEK pun hukumnya sama dengan tafaquh fiddin. Di dalam Al-Qur’an[5]disebutkan bahwa yang diwajibkan untuk bertafaquh fiddin (menekuni pendalaman ilmu-ilmu keagamaan) hanya sebagian orang saja, artinya fardhu kifayah. Demikian pula menekuni bidang-bidang teknologi yang dengannya eksitensi umat Islam akan semakin kokoh, seperti bidang konstruksi, teknologi senjata untuk pertahanan, teknologi kemandirian pangan dan lain-lain. Karena apabila bidang-bidang uang tersebut tadi tidak dapat dikuasai oleh oleh umat Islam, mereka akan menjadi sasaran empuk penjajahan serta hegemoni asing.
             Ketika Al-Qur’an berbicara tentang bumi, lautan, kapal, angin, petir, gunung dan lain-lain, sebenarnya terdapat isyarat agar kita memahami ilmu-ilmuyang berkaitan dengan itu, dan jalan untuk penguasaanya adalah dengan penelitian dan percobaan.
Dan yang sangat jelas temaktub dalam Al-Qur’an:
ôs)s9$uZù=yör&$oYn=ßâÏM»uZÉit7ø9$$Î/$uZø9tRr&urÞOßgyètB|=»tGÅ3ø9$#šc#uÏJø9$#urtPqà)uÏ9â¨$¨Y9$#ÅÝó¡É)ø9$$Î/($uZø9tRr&uryƒÏptø:$#ÏmŠÏùÓ¨ù't/ÓƒÏx©ßìÏÿ»oYtBurĨ$¨Z=Ï9zNn=÷èuÏ9urª!$#`tB¼çnçŽÝÇZtƒ¼ã&s#ßâurÍ=øtóø9$$Î/4¨bÎ)©!$#;Èqs%ÖƒÌtãÇËÎÈ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[6]
Dari ayat tersebut minimal ada perintah penting dari Allah kepada umat Islam. Yang pertama adalah perintah Allah untuk menggali atau mengolah besi, perak, minyak, emas, uranium dan lain-lain untuk kemaslahatan atau keperlun hidup manusia. Misalnya besi diolah untuk membuat alat-alat transportasi, alat-alat rumah tangga, alat-alat kesehatan, alat-alat pertanian dan perikanan serta misal yang lain sebagainya. Minyak digunakan untuk alat pembakaran, transportasi, pabrik-pabrik dan penerangan. Uranium digunakan untuk penggerak industri dan lain-lain.
 Dari perintah Allah ini , maka umat Islam  terdorong untuk mempelajari bermacam disiplin ilmu, dan research. Kemudian, dengan menggunakan ilmu, industry-industri bermacam produk dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kenyamanan, kebahagiaan hidup manusia di muka bumi. Tidak hanya manusia, tapi juga melestarikan kehidupan binatang-binatang, tumbuhan-tumbuhan, dan lain-lain.
Yang kedua adalah agar umat Islam bisa mempertahankan agama Allah dan umatnya dari serangan-serangan musuh yang tidak menginginkan agama Allah menjadi maju. Dengan bahan-bahan baku yang ada di dalam bumi ini, umat Islam wajib membuat alat-alat pertahanan, alat-alat perang, yang semata-mata ditujukan untuk pertahanan bukan untuk menyerang musuh ataupun mengambil darahnya atau bahkan merusak alam Allah yang indah ini.
 Kalau zaman dulu, kita melihat tentara-tentara memakai baju besi dan pedang sebagai alat pertahanan yang terbuat dari besi, tetapi, zaman modern ini yang dibuat adalah alat-alat yang lebih canggih seperti kapal laut, pesawat terbang, tank, torpedo, dan alat-alat perang lainnya.
Umat Islam harus merebut kembali mutiara milik mereka yang hilang. Sudah seharusnya, umat Islam merebut IPTEK barat, karena hanya ditangan umat Islamlah yang dapat melandasi IPTEK dengan epoistimologi yang benar sehingga, IPTEK akan hadir memberikan kemaslahatan dan manfaat bai umat manusia. Sebaliknya, ketika IPTEK  dikuasai orang barat yang man mereka memisahkan IPTEK dari nilai-nilai agama serta keimanan, IPTEK akan hadir dengan wajah yang menakutkan karena efek ancaman dan kerusakan yang ditimbulkan jauh dari manfaat.
BeberapaPelajaran Sejarah
Dahulu, ketika umat Islam benar-benar memahami pesan Al-Qur’an dan mengamalkannya mereka dapat menjadi pionir dalam pengmbangan IPTEK. Barat banyak berhutang kepada umatIslam dalam hal ini. Orang Eropa mengenal sains dari tradisi ilmiah Islam, dengan cara menerjemahkan teks pokok bahasa Arab ke bahasa latin. Islamlah ibu sains di Eropa.
Tradisi ilmiah Islam yang mereka terjemahkan kebanyakan berasal dari karya Ibnu Sina (980-1037), ia adalah seorang guru besar sains Ilam yang namanya diterjemahkan ke bahasa latin menjadi Avi Cenna. Beberapa karya Ibnu Sina yaitu Fisika, dan Filsafat dari kitab Al-Syifa (buku penyembuhan),Kimia dan ilmu Bumi, Al-Qanuun fil tib (Kanun Kedokteran yang digunakan sebagai teks dasar untuk mengajar  kedokteran selama tujuh abad di Timur dan di Barat)[7]
Bukan hanya Ibnu Sina, kita juga mempunyai seorang Ibnu Haytham yaitu orang yang amat mahir dalam bidang sains, astronomi, matematika, geometri, kedokteran, dan filsafat. Tulisannya mengenai mata, telah menjadi salah satu yang penting dari rujukan dalam bidang pengajian sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata telah menjadi dasar kepada pengkajian.[8]
Juga seorang Ibnu Rusyd yang mendalami banyak ilmu seperti kedokteran, hokum, matematika dan filsafat.Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja’far Harun dan Ibnu Baja yang kemudian dikembangan di Barat.[9] Dan masih banyak lagi intelek-intelek Islam yang berjasa bagi IPTEK di Barat dan di Timur.
Berarti, umat Islam saat ini sesungguhnya mempunyai potensi yang luar biasa yang mana masih terpendan yang diturunkan dari para pendahulunya. Dan kita sebagai umat Islam di zaman ini, kitalah yang akan meneruskan perjuangan para ulama dan para tokoh Islam zaman dahulu untuk mengembangkan IPTEK-IPTEK Islam dan kita juga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk terus menggalinya.
Sebenarnya, di zaman ini sudah banyak fasilitas yang dapat kita gunakan untuk meningkatkan intelektual kita dan untuk meningkatkan pengetahuan kita, sayangnya kita belum bisa m,emanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada dengan septimal mungkin dan kita juga belum bisa mengeksplorasi segala fasilitas-fgasilitas pendukung ilmu pengetahuan saat ini.
Kita sebagai umat Islam yang mana memiliki budaya yang sering disebut sebagai budaya timur atau peradaban Timur, masih sangat kurang dalam pengembangan dan pencapaian teknologi mutakhir disbanding dengan orang-orang Barat.
Sehingga, sampai hari ini masih terdengar suatu distingsi, bahwa Barat adalah peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur, sementara peradaban Islam (dan timur pada umumnya) adalah peradaban seni, misteri, tradisional, feminim, dan tak terstruktur. Sudah tentu, distingsi sepihak ini membuat sementara umat Islam geram bahkan berang. Dalam bayangannya, dapat saja itu sengaja dibuat untuk memojokkan Islam sebagai peradaban. Maka berbagai upaya terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa Islam juga peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur.
Maka apa yang disebut Barat sebagai ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur kemudian dipelajari, dipahami dan selanjutnya digunakan untuk “merekonstruksi” peradaban Islam. Peradaban Islam yang khas kemudian dirubah, tidak hanya sekedar “ganti baju” tetapi juga karakter dan sstruktur terdalamnya. Di sinilah posisi pemikiran neo-modernisme atau modernisme Islam. Dan, dalam waktu 3 abad belakangan wacana pemikiran Islam didominasi oleh pemikiran modern ini. Maka pandangan tradisional tentang realitas, manusia, alam, ilmu, sistem pemerintahan, dan sistem perekonomian dirombak atau direkonstruksi, yang pada dasarnya merupakan copy-paste dari peradaban Barat.
Dengan begitu, sudah tentu peradaban Islam menjadi “setara” dengan peradaban Barat sebagai peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur. Tidak hanya “setara”, bahkan “sangat Barat”. Mereka puas!!
Namun tiga atau empat dasa warsa belakangan, Barat dengan modernismenya dikritik dengan posmodernisme, bahwa pandangannya tentang realitas, manusia, alam, dan ilmu telah salah, karena kesalahan cara pandang. Maka kritikan ini berimplikasi besar pada peradaban Islam yang nota bene telah berubah menjadi modernisme Islam.
Di sini memang tidak dikatakan bahwa peradaban Islam (dan Timur umumnya) sebagai peradaban posmodernisme, namun apa yang oleh Barat disebut peradaban posmodernisme itu sebenarnya “Peradaban Seni” (bukan peradaban ilmu) yang sejak semula dilekatkan pada peradaban Timur. Menurut Barat, peradaban Timur ternyata lebih reil. Tetapi perlu diingat, Timur yang dimaksud adalah Timur lama, ketika belum terkontaminasi oleh cara pandang Barat.
Ibarat sebuah bangunan (rumah, misanya), peradaban kita saat ini sebagian besar tiyang penyanggahnya telah roboh diterjang badai. Inilah yang menjadi keprihatinan kaum tradisional, yang selama berabad-abad mempunyai andil cukup besar bagi bangunan intelektualisme di dalam Islam. Namun, selama ini mereka tidak lagi produktif, karena sibuk menyelamatkan sisa-sisa tradisi yang sebagian besar telah tercerabut oleh kekuatan peradaban Barat. Kita tetap harus bangga dengan mereka (kaum tradisional).
Pada bagian lain, keprihatinan juga muncul dari golongan yang oleh sementara kalangan disebut dengan gerakan revivalis. Meskipun berada pada satu moment dengan gerakan posmodernisme di Barat, tidak berarti gerakan revivalis ini memiliki keterkaitan dengan gerakan itu. Mereka ingin mengembalikan jati diri peradaban Islam seperti keadaan sebelum terkontaminasi oleh pemikiran Barat.
Selama berabad-abad, Barat selalu dilihat sebagai guru, karena lebih maju dan modern. Sebaliknya Timur selalu dianggap tradisional sehingga perlu upaya modernisasi dan sivilisasi. Gambaran ini merupakan kenyataan ataukah lebih sebagai bangunan image. Sekedar bangunan image ataukah sudah menjadi kesadaran. Maka melihat peradaban Barat dan Timur lebih dari sekedar membandingkannya, lebih jauh dari itu mestinya terlibat upaya penelusuran bangunan image dan kesadaran tentang keduanya.
Kesimpulan
Ibarat sebuah bangunan, peradaban itu memiliki fondasi, tiyang penyangga, atap dan berbagai interior dan eksterior. Maka tidak cukup melihat suatu peradaban hanya pada wilayah permukaan, bisa-bisa malah salah pandang. Sejak semula antara peradaban Barat dan Islam itu berbeda. Ini yang menarik perhatian ilmuwan Barat untuk melihat Islam, sehingga berkesimpulan bahwa Islam adalah peradaban Seni, seraya menjajakan “dagangannya” peradaban ilmu yang lebih maju.
Dalam pandangan mereka, Timur dan Barat sebenarya istilah yang penuh dengan bias kultural, etnosentris, bahkan rasial (Eurosentrisme). Istilah Timur bukanlah merupakan sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Timur (Orient), dalam istilah Said, adalah imaginative geography,[10] yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Dengan cara demikian, Barat kemudian berhasil mengambil peran sebagai ego yang menjadi subyek dan menganggap non Barat sebagai the other yang dijadikan objek. Maka Orient, sebenarnya, adalah pandangan Eropa terhadap the other non Eropa.
Dengan posisinya itu, maka muncullah apa yang disebut dengan kompleksitas superioritas (superiority complex) dalam ego Eropa, sebaliknya karena posisinya sebagai objek, maka dalam diri the other non Eropa, muncul inferioritas kompleks (inferiority complex).[11] Bryan S. Turner dalam sebuah artikelnya, menunjukkan bahwa Islam dan Timur dalam image Barat memang sangat diwarnai Eurosentrisme.[12] Maka tak heran, jika dunia mistik dan proyeksi sifat-sifat yang diasosiasikan dengan Timur yang terjajah itu sebagai suatu budaya yang marjinal.

Referensi


1.      A.I. Sabra, trans. And comm, The Optics of Ibn Haytham: Books I-III: On Direct Vision, 2 vols. (London: Warburg Insttitute, 1989).

2.      Ahmad Y. Al-Hassa, “L’Islam et la sciencein La recherche en historie des science, (Paris: La Recherche, 1983), hal 55-78

3.      Bryan S. Turner, “Orientalism, Islam, Capitalism,” dalam Social Compass, XXV, 1978/2-4
4.      Edward W. Said, “Orientalism Reconsidered,” dalam Culture Critique, No. 1, 1985, p. 90

5.      Hasan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 26

6.      Michael Marmura, “Avicenna on Causal Priority” in Parviz Morewedge, ed, Islamic Philosophy and Mysticism, 3rd ed, (New York: Caravan Book, 1981).



           
                       




[1] Abdul Kadir, Islamisasi kurikulum dan pendidikan Islam, hal 1
[2]Ditulis oleh  Rosnani Hashim, diakes di alamat http : ///www.mindamadani.my
[3]Syamsuddin Arif , Islamisasi dan Integrasi Ilmu: Gagasan, Tantangan da Usulan, hal 3
[4]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 38-39
[5]Surat at-taubah: 122
                [6]Al-Qur’an, Surat Al-Hadid : 25
[7]Michael Marmura, “Avicenna on Causal Priority” in Parviz Morewedge, ed, Islamic Philosophy and Mysticism, 3rd ed, (New York: Caravan Book, 1981).
[8]A.I. Sabra, trans. And comm, The Optics of Ibn Haytham: Books I-III: On Direct Vision, 2 vols. (London: Warburg Insttitute, 1989).
[9] Ahmad Y. Al-Hassa, “L’Islam et la sciencein La recherche en historie des science, (Paris: La Recherche, 1983), hal 55-78
[10]Edward W. Said, “Orientalism Reconsidered,” dalam Culture Critique, No. 1, 1985, p. 90
[11]Hasan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 26
[12]Bryan S. Turner, “Orientalism, Islam, Capitalism,” dalam Social Compass, XXV, 1978/2-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar