ISLAMISASI
ILMU
PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Muqodimah
Masyarakat Islam di seluruh dunia sedang berada
dalam arus perubahan yang sangat dahsyat seiring datangnya era globalisasi dan
informasi. Sebagai masyarakat mayoritas dalam dunia ketiga, sungguhpun telah
berusaha menghindari pengaruh westernisasi, tetapi dalam kenyataannya
modernisasiyang diwujudkan melalui pembangunan berbagai sector termasuk
pendidikan, intervensi dan westernisasi tersebut sulit dielakkan.[1]
Islamisasi ilmu
pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern
yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan
dunia yang lebih bersifat materialistis, sekularistik, relevistis; yang
menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali
dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas
sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu
hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis.
Ini adalah salah satu penyebab penting munculnya krisis masyarakat modern.[2]
Geliat Islamisasi ilmu pengetahuan
sudah mulai dikembangkan. Islamisasi sebagai sebuah konsep memerlukan
penjelasan-penjelasan yang komprehensif. Mengislamkan ilmu bukanlah pekerjaan
yang mudah seperti labelisasi. Namun yang perlu diingat dalam mengislamkan ilmu
adalah harus mampu mengidentifikasi pandangan hidup Islam (the
Islamicworldview) sekaligus mampu memahami budaya dan peradaban Barat.
Di sini kami hendak ‘menguak’ keburukan
westernisasi ilmu dengan menguraikan latar belakang sejarahnya dan dampak yang
ditimbulkannya, sehingga Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer merupakan
solusi yang tepat ditawarkan untuk mengobatinya.
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang dan Gagasan Islamisasi Sains dan Teknologi
Seiring dengan
perkembangan kemajuan sains dan teknologi di Barat, nilai-nilai agama
berangsur-angsur bergeser bahkan bersebrangan dengan ilmu. Bagi kalangan
ilmuwan Barat, agama adalah penghalang kemajuan karena beranggapan jika ingin
maju agama tidak boleh lagi mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia seperti politik dan sains.
Ditambah dengan
pemikiran pemikiran Liberal dan Sekular yang tumbuh berkembang disana dengan
pesat, yang menjadikan diskursus keilmuan dan teknologi terlepas dari agama.
Agama adalah agama , ilmu adalah ilmu. Sains dianggap tidak lagi berhubungan
dengan agama, seakan akan berdiri sendiri tanpa tiang agama. Hal ini menjadikan
fenomena alam yang seharusnya menjadi wadah tadabbur bagi manusia untuk melihat
bagaimana agungnya kekuasaan Allah menjadi terlewat begitu saja. Sains dikaji
hanya sebatas pengetahuan semata, tanpa memperhatukan aqidah dan ketauhidan
Tuhan. sains dan teknologi dikembangkan hanya untuk memenuhi syahwat manusia
yang tiada batasnya, bukan sebagai perantara mata hati dalam meningkatkan
keimanan.
Sains seakan
akan ditelanjangi, dengan menanggalkan agama sebagai covernya. Sains modern
yang begitu diangung agungkan oleh kaum sekuler layaknya menjadi tombak untuk melepaskan diskursus
keagamaan dari seluruh aspek kehidupan manusia.
Syed Muhammad Naquib al- Attas dalam tulisan monumental berjudul De westernization of Knowledge (1978) melihat
masalah terbesar umat Islam saai ini adalah masalah ilmu: dan banyak masalah
lainnya timbul akibat dari masalah ini. Kebanyakan umat Islam yang belajar atau
mengajar tidak sadar bahwa ilmu ilmu modern yang sekarang ini diajarkan di
sekolah sekolah dan institusi pengajian tinggi di Negara Negara Islam berasal
dari Barat dan menayangkan visi intelektual dan psikologi budaya serta
peradaban Barat.[3]
Berawal dari konferensi dunia
tentang Pendidikan Muslim di Mekah tahun 1977, yang diprakarsai oleh King Abdul
Aziz University, yang banyak membahas atas gagasan Islamisasi Pengetahuan,
bahwa Islamisasi pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian
terhadap ilmu pengetahuan produk non-muslim yang selama ini dikembangan dan
dijadikan acuan dalam wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar
diperoleh ilmu pengetahuan yang bercorak Islam.[4]
Syed Muhammad Naquib al- Attas mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan mengacu kepada upaya mengeliminir
unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban
Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur
dan konsep ini adalah cara pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin
humanisme, serta tekanan kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani
sekaligus penguasaan terhadapnya.Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya adalah menanamkan
unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan demikian akan
terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang selaras dengan
fitrah. Dengan kata lain, islamisasi ilmu pengetahuan dapat ditangkap sebagai
upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari pemahaman berasaskan ideologi, makna serta
ungkapan sekuler.
Sementara
menurut Ismail al Faruqi,“upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data,
problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini maka
setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam
sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan
kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru,
data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan dipikir
ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.
B.
Integrasi Sains, Teknologi dan Agama
Ilmu dan Agama tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, karena keduanya berasal dari satu akar, yaitu Tuhan.
Sedangkan teknologi adalah aplikasi dari ilmu itu sendiri.Ilmu pengetahuan atau
sains berada dalam tataran teoritis sedangkan teknologi berada dalam tataran
praktis aplikatif. Dan agama berperan sebagai cover keduanya dengan tauhidullah
sebagai kesimpulannya.
Yang seharusnya
dilakukan dalam menerapkan Sains dan teknologi dalam Islam adalah: pertama
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Dan kedua,
menjadikan Syari’ah Islam (yang lahir dari aqidah Islam) sebagai standar bagi
pemanfaatan sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.
Maksudnya, dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip
aqidah Islam, sebagai contoh: statement Darwin tentang teori Evolusi yag
menafikan penciptaan manusia pertama yakni Adam oleh Allah SWT harus ditolak,
karena bertentangan dengan aqidah dan syari’ah yang akan menjadi landasan dalam
penerapan teknologi, jangan sampai cloning yang berhasil diterapkan untuk hewan
kemudian diterapkan juga untuk manusia, karena hal itu jelas dilarang oleh
syari’ah.
Dalam pengamatan
kita selama ini, Negara-negara Barat sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah terus
maju dan berkembang. Sedangkan umat Islam dikatakan mengalami kemunduran. Hal
itu disebabkan karena umat Islam mulaimeninggalkan bimbingan kitab suci mereka.
Ayat yang pertama turun adalah perintah membaca(iqra’). Membaca adalah pintu
gerbang utama untuk menguasai IPTEK. Hanya saja umat Islam tidak menjalankan
perintah ayat yang pertama turun kepada nabi Muhammad SAW itu. Justru umat
lainlah yang mengamalkannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Sebenarnya amatlah sangat banyak
ayat yang menyuruh kita untuk berfikir, bertadabbur dan juga mengecam taqlid.
Tapi pada kenyataannya, kita lebih suka taqlid kepada hal-hal yang telah
terlebih dahulu diciptakan atau dimunculkan oleh orang-orang pendahulu, tanpa
adanya usaha untuk berfikir hendak membuat sesuatu yang baru yang lebih baik
atau mengacu pada hal yang telah ada tersebut. Dan hal itulah yang menujukkan
bahwasanya masih banyak dari masyarakat Muslim yang malas menggunakan akal
fikirannya untuk mengubah keadaan tersebut.Padahal, sebenarnya Al-Qur’an sangat
apresiasif terhadap IPTEK. Terbukti kata-kata ilmu dalam segala macam bentuknya
disebut di dalam Al-Qur’an lebih dari 780 kali.
Klasifikasi ilmu
dalam perspektif hokum Islam dapat dikategorikan dalam beberapa bagian, ada
ilmu yang fardhu ‘ain(wajib bagi setiap Muslim untuk mempelajarinya), yaitu
berkaitan dengan bagaiman mempunyai aqidah yang benar, ibadah yang benar
akhalak yang luhur dan hokum-hukum dalam bermu’amalah yang akan menjaga
keselamatan hidupnya. Kemudian ada juga yang mandub (dianjurkan), yaitu hal-hal
yang akan menambah dari kebutuhan-kebutuhan utamanya dalam kehidupan ini. Ada
juga yang fardhu kifayah, seperti menekuni disiplin ilmu-ilmu tertentu, menjadi
ahli Tafsir, ahli hadits, ahli fiqh dan lain-lain, termasuk penguasaan sains
dan teknologi adalh fardhu kifayah.
Apabila umat Islam tidak ada yang
menekuni bidang-bidang ilmu tersebut maka kita tidak akan pernah menjadi suatu
Negara yang maju, berkembang dan hanya selalu mengandalkan kekreatifan dan
kepandaian Negara lain yang telah maju dan berkembang. Maka dari itu,
masing-masing dari kita harus selalu menanamkan semangat untuk memajukan ilmu
pengetahuan Islam sehingga kita tidak lagi menggantungkan diri kepada Negara
lain terutama dalam bidang teknik, pembuatan senjata, transportasi dan yang
lain sebagainya. Sedangkan di lai pihak pun ada pula yang haram untuk dipelajari, yaitu ilmu yan hanya mendatangkan
mudharat dan tidak memberikan manfaat, seperti ilmu sihir dan lain sebagainya.
Menekun IPTEK pun
hukumnya sama dengan tafaquh fiddin. Di dalam Al-Qur’an[5]disebutkan
bahwa yang diwajibkan untuk bertafaquh fiddin (menekuni pendalaman
ilmu-ilmu keagamaan) hanya sebagian orang saja, artinya fardhu kifayah.
Demikian pula menekuni bidang-bidang teknologi yang dengannya eksitensi umat
Islam akan semakin kokoh, seperti bidang konstruksi, teknologi senjata untuk
pertahanan, teknologi kemandirian pangan dan lain-lain. Karena apabila
bidang-bidang uang tersebut tadi tidak dapat dikuasai oleh oleh umat Islam,
mereka akan menjadi sasaran empuk penjajahan serta hegemoni asing.
Ketika Al-Qur’an berbicara tentang bumi,
lautan, kapal, angin, petir, gunung dan lain-lain, sebenarnya terdapat isyarat
agar kita memahami ilmu-ilmuyang berkaitan dengan itu, dan jalan untuk
penguasaanya adalah dengan penelitian dan percobaan.
Dan yang sangat jelas temaktub dalam
Al-Qur’an:
ôs)s9”$uZù=yör&$oYn=ßâÏM»uZÉit7ø9$$Î/$uZø9tRr&urÞOßgyètB|=»tGÅ3ø9$#c#uÏJø9$#urtPqà)uÏ9â¨$¨Y9$#ÅÝó¡É)ø9$$Î/($uZø9tRr&uryÏptø:$#ÏmÏùÓ¨ù't/ÓÏx©ßìÏÿ»oYtBurĨ$¨Z=Ï9zNn=÷èuÏ9urª!$#`tB¼çnçÝÇZt¼ã&s#ßâurÍ=øtóø9$$Î/4¨bÎ)©!$#;Èqs%ÖÌtãÇËÎÈ“
“Sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha
Perkasa.”[6]
Dari ayat tersebut minimal ada
perintah penting dari Allah kepada umat Islam. Yang pertama adalah perintah
Allah untuk menggali atau mengolah besi, perak, minyak, emas, uranium dan
lain-lain untuk kemaslahatan atau keperlun hidup manusia. Misalnya besi diolah
untuk membuat alat-alat transportasi, alat-alat rumah tangga, alat-alat
kesehatan, alat-alat pertanian dan perikanan serta misal yang lain sebagainya.
Minyak digunakan untuk alat pembakaran, transportasi, pabrik-pabrik dan
penerangan. Uranium digunakan untuk penggerak industri dan lain-lain.
Dari perintah Allah ini , maka umat Islam terdorong untuk mempelajari bermacam disiplin
ilmu, dan research. Kemudian, dengan menggunakan ilmu, industry-industri
bermacam produk dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kenyamanan,
kebahagiaan hidup manusia di muka bumi. Tidak hanya manusia, tapi juga
melestarikan kehidupan binatang-binatang, tumbuhan-tumbuhan, dan lain-lain.
Yang kedua adalah agar umat Islam
bisa mempertahankan agama Allah dan umatnya dari serangan-serangan musuh yang
tidak menginginkan agama Allah menjadi maju. Dengan bahan-bahan baku yang ada
di dalam bumi ini, umat Islam wajib membuat alat-alat pertahanan, alat-alat
perang, yang semata-mata ditujukan untuk pertahanan bukan untuk menyerang musuh
ataupun mengambil darahnya atau bahkan merusak alam Allah yang indah ini.
Kalau zaman dulu, kita melihat tentara-tentara
memakai baju besi dan pedang sebagai alat pertahanan yang terbuat dari besi,
tetapi, zaman modern ini yang dibuat adalah alat-alat yang lebih canggih
seperti kapal laut, pesawat terbang, tank, torpedo, dan alat-alat perang
lainnya.
Umat Islam harus merebut kembali
mutiara milik mereka yang hilang. Sudah seharusnya, umat Islam merebut IPTEK
barat, karena hanya ditangan umat Islamlah yang dapat melandasi IPTEK dengan
epoistimologi yang benar sehingga, IPTEK akan hadir memberikan kemaslahatan dan
manfaat bai umat manusia. Sebaliknya, ketika IPTEK dikuasai orang barat yang man mereka
memisahkan IPTEK dari nilai-nilai agama serta keimanan, IPTEK akan hadir dengan
wajah yang menakutkan karena efek ancaman dan kerusakan yang ditimbulkan jauh
dari manfaat.
BeberapaPelajaran Sejarah
Dahulu, ketika umat Islam
benar-benar memahami pesan Al-Qur’an dan mengamalkannya mereka dapat menjadi
pionir dalam pengmbangan IPTEK. Barat banyak berhutang kepada umatIslam dalam
hal ini. Orang Eropa mengenal sains dari tradisi ilmiah Islam, dengan cara
menerjemahkan teks pokok bahasa Arab ke bahasa latin. Islamlah ibu sains di
Eropa.
Tradisi ilmiah Islam yang mereka
terjemahkan kebanyakan berasal dari karya Ibnu Sina (980-1037), ia adalah
seorang guru besar sains Ilam yang namanya diterjemahkan ke bahasa latin
menjadi Avi Cenna. Beberapa karya Ibnu Sina yaitu Fisika, dan Filsafat dari
kitab Al-Syifa (buku penyembuhan),Kimia dan ilmu Bumi, Al-Qanuun fil tib (Kanun
Kedokteran yang digunakan sebagai teks dasar untuk mengajar kedokteran selama tujuh abad di Timur dan di
Barat)[7]
Bukan hanya Ibnu Sina, kita juga
mempunyai seorang Ibnu Haytham yaitu orang yang amat mahir dalam bidang sains,
astronomi, matematika, geometri, kedokteran, dan filsafat. Tulisannya mengenai
mata, telah menjadi salah satu yang penting dari rujukan dalam bidang pengajian
sains di Barat. Malahan kajiannya mengenai pengobatan mata telah menjadi dasar
kepada pengkajian.[8]
Juga seorang Ibnu Rusyd yang
mendalami banyak ilmu seperti kedokteran, hokum, matematika dan filsafat.Ibnu
Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja’far Harun dan Ibnu Baja yang kemudian
dikembangan di Barat.[9]
Dan masih banyak lagi intelek-intelek Islam yang berjasa bagi IPTEK di Barat
dan di Timur.
Berarti, umat Islam saat ini
sesungguhnya mempunyai potensi yang luar biasa yang mana masih terpendan yang
diturunkan dari para pendahulunya. Dan kita sebagai umat Islam di zaman ini,
kitalah yang akan meneruskan perjuangan para ulama dan para tokoh Islam zaman
dahulu untuk mengembangkan IPTEK-IPTEK Islam dan kita juga mempunyai tanggung
jawab yang besar untuk terus menggalinya.
Sebenarnya, di zaman ini sudah
banyak fasilitas yang dapat kita gunakan untuk meningkatkan intelektual kita
dan untuk meningkatkan pengetahuan kita, sayangnya kita belum bisa m,emanfaatkan
fasilitas-fasilitas yang ada dengan septimal mungkin dan kita juga belum bisa
mengeksplorasi segala fasilitas-fgasilitas pendukung ilmu pengetahuan saat ini.
Kita sebagai umat Islam yang mana
memiliki budaya yang sering disebut sebagai budaya timur atau peradaban Timur,
masih sangat kurang dalam pengembangan dan pencapaian teknologi mutakhir
disbanding dengan orang-orang Barat.
Sehingga, sampai hari ini masih terdengar suatu distingsi, bahwa
Barat adalah peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur,
sementara peradaban Islam (dan timur pada umumnya) adalah peradaban seni,
misteri, tradisional, feminim, dan tak terstruktur. Sudah tentu, distingsi
sepihak ini membuat sementara umat Islam geram bahkan berang. Dalam
bayangannya, dapat saja itu sengaja dibuat untuk memojokkan Islam sebagai
peradaban. Maka berbagai upaya terus dilakukan untuk menunjukkan bahwa Islam
juga peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan terstruktur.
Maka apa yang disebut Barat sebagai ilmu, rasional, modern, jantan,
dan terstruktur kemudian dipelajari, dipahami dan selanjutnya digunakan untuk
“merekonstruksi” peradaban Islam. Peradaban Islam yang khas kemudian dirubah,
tidak hanya sekedar “ganti baju” tetapi juga karakter dan sstruktur
terdalamnya. Di sinilah posisi pemikiran neo-modernisme atau modernisme Islam.
Dan, dalam waktu 3 abad belakangan wacana pemikiran Islam didominasi oleh
pemikiran modern ini. Maka pandangan tradisional tentang realitas, manusia,
alam, ilmu, sistem pemerintahan, dan sistem perekonomian dirombak atau
direkonstruksi, yang pada dasarnya merupakan copy-paste dari peradaban
Barat.
Dengan begitu, sudah tentu peradaban Islam menjadi “setara” dengan
peradaban Barat sebagai peradaban ilmu, rasional, modern, jantan, dan
terstruktur. Tidak hanya “setara”, bahkan “sangat Barat”. Mereka puas!!
Namun tiga atau empat dasa warsa belakangan, Barat dengan
modernismenya dikritik dengan posmodernisme, bahwa pandangannya tentang
realitas, manusia, alam, dan ilmu telah salah, karena kesalahan cara pandang.
Maka kritikan ini berimplikasi besar pada peradaban Islam yang nota bene telah
berubah menjadi modernisme Islam.
Di sini memang tidak dikatakan bahwa peradaban Islam (dan Timur
umumnya) sebagai peradaban posmodernisme, namun apa yang oleh Barat disebut
peradaban posmodernisme itu sebenarnya “Peradaban Seni” (bukan peradaban ilmu)
yang sejak semula dilekatkan pada peradaban Timur. Menurut Barat, peradaban
Timur ternyata lebih reil. Tetapi perlu diingat, Timur yang dimaksud adalah
Timur lama, ketika belum terkontaminasi oleh cara pandang Barat.
Ibarat sebuah bangunan (rumah, misanya), peradaban kita saat ini
sebagian besar tiyang penyanggahnya telah roboh diterjang badai. Inilah yang
menjadi keprihatinan kaum tradisional, yang selama berabad-abad mempunyai andil
cukup besar bagi bangunan intelektualisme di dalam Islam. Namun, selama ini
mereka tidak lagi produktif, karena sibuk menyelamatkan sisa-sisa tradisi yang
sebagian besar telah tercerabut oleh kekuatan peradaban Barat. Kita tetap harus
bangga dengan mereka (kaum tradisional).
Pada bagian lain, keprihatinan juga muncul dari golongan yang oleh
sementara kalangan disebut dengan gerakan revivalis. Meskipun berada pada satu
moment dengan gerakan posmodernisme di Barat, tidak berarti gerakan revivalis
ini memiliki keterkaitan dengan gerakan itu. Mereka ingin mengembalikan jati
diri peradaban Islam seperti keadaan sebelum terkontaminasi oleh pemikiran
Barat.
Selama
berabad-abad, Barat selalu dilihat sebagai guru, karena lebih maju dan modern.
Sebaliknya Timur selalu dianggap tradisional sehingga perlu upaya modernisasi
dan sivilisasi. Gambaran ini merupakan kenyataan ataukah lebih sebagai bangunan
image. Sekedar bangunan image ataukah sudah menjadi kesadaran.
Maka melihat peradaban Barat dan Timur lebih dari sekedar membandingkannya,
lebih jauh dari itu mestinya terlibat upaya penelusuran bangunan image dan
kesadaran tentang keduanya.
Kesimpulan
Ibarat sebuah
bangunan, peradaban itu memiliki fondasi, tiyang penyangga, atap dan berbagai
interior dan eksterior. Maka tidak cukup melihat suatu peradaban hanya pada
wilayah permukaan, bisa-bisa malah salah pandang. Sejak semula antara peradaban
Barat dan Islam itu berbeda. Ini yang menarik perhatian ilmuwan Barat untuk
melihat Islam, sehingga berkesimpulan bahwa Islam adalah peradaban Seni, seraya
menjajakan “dagangannya” peradaban ilmu yang lebih maju.
Dalam pandangan
mereka, Timur dan Barat sebenarya istilah yang penuh dengan bias kultural,
etnosentris, bahkan rasial (Eurosentrisme). Istilah Timur bukanlah merupakan
sesuatu yang alami atau ada dengan sendirinya. Timur (Orient), dalam istilah
Said, adalah imaginative geography,[10]
yang diciptakan secara sepihak oleh Barat. Dengan cara demikian, Barat kemudian
berhasil mengambil peran sebagai ego yang menjadi subyek dan menganggap
non Barat sebagai the other yang dijadikan objek. Maka Orient,
sebenarnya, adalah pandangan Eropa terhadap the other non Eropa.
Dengan posisinya itu, maka muncullah apa yang disebut dengan
kompleksitas superioritas (superiority complex) dalam ego Eropa,
sebaliknya karena posisinya sebagai objek, maka dalam diri the other non
Eropa, muncul inferioritas kompleks (inferiority complex).[11]
Bryan S. Turner dalam sebuah artikelnya, menunjukkan bahwa Islam dan Timur
dalam image Barat memang sangat diwarnai Eurosentrisme.[12]
Maka tak heran, jika dunia mistik dan proyeksi sifat-sifat yang diasosiasikan
dengan Timur yang terjajah itu sebagai suatu budaya yang marjinal.
Referensi
1.
A.I. Sabra, trans. And comm, The Optics of
Ibn Haytham: Books I-III: On Direct Vision, 2 vols. (London: Warburg
Insttitute, 1989).
2.
Ahmad Y. Al-Hassa, “L’Islam et la science” in
La recherche en historie des science, (Paris: La Recherche, 1983), hal
55-78
3.
Bryan S.
Turner, “Orientalism, Islam, Capitalism,” dalam Social Compass, XXV,
1978/2-4
4.
Edward W. Said,
“Orientalism Reconsidered,” dalam Culture Critique, No. 1, 1985, p. 90
5.
Hasan Hanafi, Oksidentalisme,
Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 26
6.
Michael Marmura, “Avicenna on Causal Priority”
in Parviz Morewedge, ed, Islamic Philosophy and Mysticism, 3rd ed,
(New York: Caravan Book, 1981).
[1] Abdul Kadir, Islamisasi kurikulum dan pendidikan Islam, hal
1
[4]Muhaimin, Nuansa
Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 38-39
[5]Surat
at-taubah: 122
[7]Michael Marmura, “Avicenna on Causal Priority” in Parviz
Morewedge, ed, Islamic Philosophy and Mysticism, 3rd ed, (New York:
Caravan Book, 1981).
[8]A.I. Sabra, trans. And comm, The Optics of Ibn Haytham:
Books I-III: On Direct Vision, 2 vols. (London: Warburg Insttitute, 1989).
[9] Ahmad Y. Al-Hassa, “L’Islam et la science” in La
recherche en historie des science, (Paris: La Recherche, 1983), hal 55-78
[11]Hasan
Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta:
Paramadina, 2000), p. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar